Tunggu Harga Kembali Stabil
photo by Maulana al-Fatih |
TAK
PUNYA PILIHAN : Tak ingin menanggung kerugian lebih besar, petani menjemur gabahnya
untuk disimpan.
Jual Sebagian Gabah Untuk
Nutupi Ongkos Operasinal
Dirasa
Tak Sebanding Dengan Biaya Pengeluaran, Petani Lebih Memilih Menyimpan Sebagian
Besar Hasil Panen Untuk Dijual Lagi Saat Harga Gabah Kembali Stabil
BALUNG, 5/4/19 – Menurunnya
harga gabah akhir pekan ini membuat petani harus kembali menelan pil pahit.
Setelah sebelumnya para petani harus panen lebih awal karena serangan hama
wereng yang melanda tanaman padinya, kini
petani harus lebih bersabar menikmati hasil panennya. Pasalnya, harga gabah
yang murah dirasa tidak cukup untuk menutupi besaran biaya pengeluaran selama
masa tanam. Bahkan sejumlah petani lebih memilih menyimpan hasil panennya untuk
dijual lagi ketika harga sudah normal.
Seperti yang
dialami oleh Muhammad Nasihin, salah seorang petani asal Dusun Maduran Desa
Tutul. Meskipun telah panen, gabah miliknya tidak dijual. Menurutnya, jika
gabah tersebut dijual, dia akan merugi
untuk keduakalinya. “Kemarin terpaksa saya jual. Itupun hanya sekian saja untuk
membayar ongkos kuli,” ujar Nasihin.
Meskipun gabah
miliknya tergolong kualitas unggul, namun besarnya biaya pengeluaran selama
masa tanam menurutnya dirasa sangat jauh dari harapan ketika gabah dijual.
“Harga gabah basah masih berkisar Rp 3000 perkilo. Sedangkan yang kualitas
super hanya berkisar Rp 4000 perkilo,” imbuhnya. Dengan harga seperti itu, Nasihin mengaku
akan merugi cukup banyak jika gabah hasil panennya dijual semua. “Untuk obat
saja selama masa tanam hingga perawatan, saya sudah habis sekitar Rp 600 ribu mas,” ungkapnya kepada Radar Jember.
Tak hanya biaya
obat, biaya operasional ketika panen memaksa dia menjual sekian kuintal untuk
membayar ongkos kuli. “Saya jual 10 sak gabah dari keseluruhan hasil panen
untuk membayar ongkos kuli. Kalau diuangkan sekitar Rp 1 juta,” ujar Nasihin.
Ongkos itu belum terhitung untuk biaya makan kulinya tiga kali sehari, rokok,
dan biaya selep gabah. “Jika ditotal semuanya, harga gabah saya keseluruhan hanya
bisa nutup modal saja, meskipun sangat ngepres,”
imbuh petani 47 tahun itu.
Nasihin juga menjelaskan
kegelisahan dari teman-temannya yang juga sebagai petani dengan sistem sewa
lahan. Menurutnya, kerugian yang ditanggung dia itu belum seberapa jika
dibandingkan dengan temannya yang sewa lahan untuk tanam padi. “Kalau sewa
kerugiannya lebih besar. Biaya sewanya setengah hectare saja mencapai Rp 12-14
juta per tahun,” tutur Nasihin. Harga itu masih dianggap yang paling umum. Menurut
Nasihin, jika sawah memiliki lokasi yang stategis atau pengairan yang lancar,
harga tersebut bisa lebih besar.
Dari sekian
petani yang mengalami nasib seperti dirinya, lanjut Nasihin, pihak yang paling
dirugikan adalah petani yang menggarap lahan milik petani lain atau pemilik
sawah (jawa; ngedok, red). Petani
yang ngedok itu menerima upah dari hasil penjualan gabah yang dibagi dengan
pemilik sawah. “Sistemnya kalau ngedok itu bagi hasil, semisal dari setiap enam
sak, lima sak untuk pemilik sawah, satu sak untuk yang ngedok,” ujarnya.
Dengan harga saat
ini, Nasihin meyakini petani yang paling merugi adalah petani yang ngedok.
“Sebenarnya yang paling merasa apes karena
turunnya harga gabah ini yah petani
kaya mereka itu. Sama-sama kerja keras, tapi pas panen hasilnya masih dibagi,”
pungkasnya. (mg2)
Komentar