Pilih Kos Apa Mondok
Suka Duka Menjadi Penunggu Kiriman Logistik Bulanan
Orang Tua
JEMBER, 11/4/19 - Bagi seorang pelajar yang merantau ke kota orang untuk
menuntut ilmu, tempat singgah bernama kos-kosan atau pondok menjadi hal yang
wajib diperhatikan demi keberlangsungan hidup mereka. Selain untuk tempat
tinggal, tempat tersebut juga dipilih dengan beragam alasan dan kelebihan
tersendiri.
Seolah menjadi saksi sejarah perjalanan mereka
dalam belajar, baik kosan maupun pondok disebut-sebut menyimpan banyak kenangan
yang menguras emosi, hati dan perasaan, ;) . Seperti paparan Ulfa Rohmati, 20,
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unej asal Kota Madiun. Dan Ana Fitriana, 23,
mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember asal Sumenep Madura.s
Bagi Ana Fitriana yang banyak menempah dirinya
di lingkungan pesantren, memilih mondok di sebuah mahad mahasiswa menjadi
pilihan utama dan satu-satunya. Ana yang merupakan alumni pondok An-Nuqoyyah
Sumenep Madura, memiliki alasan yang menguatkan dirinya memutuskan untuk
mondok. Menurutnya, kehidupan di pondok menjadi daya tarik tersendiri bagi
mahasiswi jurusan pendidikan bahasa Arab itu. “Saya mondok karena amanah orang
tua. Keseruan di pondok itu bisa kenal dengan mbak-mbak senior. Mereka
sangat perhatian ke saya dan yang lain,”
akui Ana.
Selain memiliki kenalan yang perhatian
terhadap dirinya, alasan lain bagi Ana adalah masalah keamanan. “Dulu pernah
ngekos, sekitar dua bulanan. Tapi sering mendengar cerita barangnya anak-anak
yang kos kadang hilang,” ujarnya. Mendengar berita-berita seperti itu membuat
Ana mulai berfikir duakali untuk melanjutkan kos. “Kadang saya kuliah sempat
kepikiran barang-barang di kontraan kalau penghuni pada keluar semua,” imbuh
mahasiswi semester delapan itu.
Ana juga menceritakan, kesan-kesannya selama
berada di pondok. Suka duka dipondok menurutnya tidak jauh berbeda ketika masih
nyantri masa sekolah dulu. “Di pondok itu serba satu untuk semua. Makan bareng,
lapar bareng, berangkat kuliah bareng,
budaya ngantri ketika mandi, dan lain-lain,” tuturnya. Saat ini, dia mengaku
tinggal di Asrama Mahasiswi Darul Arifin II yang berlokasi persis di depan
kampus. “Saya baru setahun disini cukup kerasan. Sebelumnya saya di pondok
sebelah kampus,” tutur Ana.
Dengan biaya Rp 300 ribu perbulan, Ana dan
teman-temannya sudah bisa meningmati fasilitas pondok berupa kamar, singgle
bad, wifi, tivi, kipas, dan kamar mandi dalam. “Harga Rp 300 ribu itu diropel
per triwulan. Jadi bayarnya setiap tiga bulan sekali sebesar Rp 900 ribu,”
imbuhnya.
Sedangkan bagi Ulfa Rohmati, kehidupan kos
adalah sebuah cara mendidik kehidupan yang mandiri. Mahasiswi 20 tahun itu
beralasan dipilihnya kosan sebagai alternatif terakhir untuk menyesuaikan jadwal
kuliahnya yang padat akan tugas. “Di kosan bebas. Saya bisa ngatur waktu
sendiri,” tuturnya.
Selain perhitungannya masalah waktu, Ulfa
mengaku kehidupan kos membuatnya harus pinter ngatur waktu, keuangan dan
kedisiplinan. “Keuangan kan serba bayar sendiri, mau makan , mau ini itu
serba sendiri. Meskipun ada teman kos di kamar lain,” tuturnya.
Dengan merogoh kocek sebesar Rp 350 ribu
perbulan, Ulfa mengaku mendapatkan fasilitas berupa wifi, kamar mandi dalam,
single bad, dan lemari. “Harga itu sudah free semuanya, tak ada tambahan
biaya listrik apapun,” ujar Ulfa.
Menurutnya ada harga yang lebih murah dari
itu, sekitar Rp 200-300 ribu perbulan. Namun kosan itu memiliki fasilitas yang
minim banyak biaya tambahan. Mahasiswi yang mengaku ngekos di derah Halmahera
itu juga menjelaskan, semakin dekat lokasi kosan dengan kampus, semakin mahal
pula bulanannya.
Ulfa juga menceritakan suka dukanya dan pahit
manis tinggal di kos-kosan. “Telat makan biasa, jemuran kadang gak ada yang
angkat kadang udah lumrah. Yang mengkhawatirkan saya sempat kepikiran
macem-macem kalau lagi pas sendirian di kos,”. Tuturnya. Bahkan, sempat
kirimannya telat membuat Ulfa kelabakan untuk sekedar makan.
Mahasiswi semester empat itu mengaku sempat
dihantui rasa khawatir dan was-was ketika penghuni kos pulang kampung atau
kuliah semua. “Kehidupan kos yang bebas sebenarnya memicu tindakan kejahatan
lebih besar. Kalau tidak pandai-pandai jaga diri, bisa fatal,” pungkas mahasiswi
aktivis itu. (mg2)
Komentar