Pahlawan ‘Belum’ Mendapatkan Jasa

Photo by Maulana al-Fatih
TETAP BERSYUKUR –  Matnasi, 48, guru honorer belasan tahun yang masih bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pahlawan ‘Belum’ Mendapatkan Jasa
16 Tahun Mengajar, Ingin Segera Diangkat Sebelum Pensiun Tiba

SILO, 14/03/19 – Kalam bijak yang menyebutkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mungkin cocok disematkan kepada pria asal Dusun Plalangan Sempolan, Kecamatan Silo itu. Diusianya yang ke-58 tahun, menyisakan 12 tahun terakhir kesempatan dirinya diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Dengan kegigihannya, pria yang akrab disapa Pak Mat itu telah menghabiskan waktu 16 tahun menjadi guru honorer di sejumlah sekolah dasar. Menurutnya, dia awal kali mengajar pada awal tahun 2004 di SDN Silo 03 dengan gaji Rp 150.000., rutinitas mengajarnya itu dilakukannya sambil kuliah. Kemudian pada tahun 2006, dia pindah SDN Sumberjati 02 hingga saat ini. “Awal saya pindah sekolah hingga 2017 kemarin, gaji saya masih Rp 400.000,” ujar Matnasi.
Menurutnya, gaji tersebut masih bisa ditambahkan dari bantuan bos yang ada di sekolahnya. Namun pada 2018 kemarin, dia mengaku mendapatkan Surat Penugasan (SP) yang dikeluarkan oleh bupati. Dengan surat tersebut, dia berhak mendapatkan gaji yang dialokasikan dari Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda) sebesar Rp 700.000.
Gaji dari SP bupati itu menurutnya sangat memangkas haknya dia sebagai guru honorer. “Nominal 700 ribu itu hitungannya berdasarkan masa pengabdian saya,” imbuhnya. Disisi lain, dia tidak bisa mendapatkan gaji dari bos sekolah karena telah mendapat gaji dari bosda. “Lebih enak masa honorer dari pada SP bupati sekarang,” tutur Matnasi. Menurut dia, gajinya waktu jadi guru honorer itu, pihak sekolah bisa menambahkan dari bos. Sedangkan gaji dari SP bupati dengan nominal 700 ribu menuruntnya sudah paten dan tidak bisa ditambah lagi.
Matnasi juga mengatakan, sistem seleksi CPNS tahun kemarin dianggapnya merugikan, terutama bagi guru honorer yang sudah sepuh seperti dia. Menurut dia, banyak guru-guru honorer tidak bisa memiliki kesempatan karena beberapa tertentu. “CPNS kemarin semuanya posisi guru dibatasi usia sampai 35 tahun,” tutur Matnasi. Dia mengaku, selain faktor usia, pria 48 tahun itu juga mengatakan kalau dia juga terkendala di akademiknya.
 “Dulu pernah di Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya. Namun karena tidak bisa melunasi biaya tugas akhir, ijazah saya tidak bisa dikeluarkan,” tuturnya penuh haru. Menurtnya, pada 2013 kelulusannya sebagai mahasiswa, dia mengaku sangat kesulitan menembus tanggungan biaya dengan gaji sebagai guru honorer. “Gaji waktu itu masih 400,an. Sedangkan untuk ijazah bisa keluar minimal sedia sekitar 10 juta,” ungkap Matnasi kepada Radar Jember. (Rabu,13/3).
Ikhlas dan tetap berusaha selama ini menurutnya menajdi kunci kesabarannya selama mengajar. “Anak tiga, keluarga di rumah semuanya tuju. Uang belanja istri, semuanya tidak nutut jika dinalar,” ujarnya. Penghasilannya kata dia, juga dibantu dari istri yang bekerja menjual makanan kecil di depan rumahnya dan menjadi makelar sepeda motor. “Sebenarnya sering ditawari merantau. Tapi selalu kepikiran ke anak-anak dan istri,” imbuhnya.
Selain menanggung kehidupan keluarga, saat ini Matnasih berharap bisa meneruskan keinginan anaknya yang ingin melanjutkan kuliah di Jember. “Anak tertua kelas tiga SMA, unas tahun ini. Sedangkan adiknya, ada yang duduk di kelas tiga dan kelas empat,” tutur Matnasi. Dia juga berharap, diusianya yang cukup udzur, pengabdiannya selama ini bisa ia manfaatkan untuk keluarganya. “Harapan saya cuman satu mas, pengen segera diangkat. Itu saja,” pungkas Matnasi. (mg2)      


Komentar

POPULER

💡NARASI KADERISASI💡 (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember