Didik Siswa Ala Pesantren

photo by Maulana al-Fatih


RUTINITAS SETIAP PAGI : Puluhan siswa Mima 56 Salafiyah Syafi'iyah tengah mendengarkan tausiyah dari guru saat setelah melaksanakan solat dhuha.

Didik Siswa Ala Pesantren
Seiring dengan maraknya pemberitaan tentang akhlak siswa yang kurang sopan terhadap gurunya, telah menjadi perhatian serius bagi lembaga-lembaga pendidikan tingkat dasar. Sejumlah pun sekolah mulai berfikir ulang untuk menjaga kualitas lulusannya agar bisa diterima di masyarakat. Salah satu langkah tersebut adalah dengan membudayakan pendidikan akhlak sejak dini.
Maulana, Tempurejo
28/3/19

Di Pedesaan, pendidikan ahlak sejak dini masih dianggap prioritas yang harus dijalani oleh anak. Dengan mengadopsi budaya pesantren, beberapa lembaga formal masih bisa membuktikan eksistensi lembaganya ditengah kuatnya persaingan dengan lembaga-lembaga modern.
Hal itu yang tengah diusahakan oleh lembaga Mima 56 Salafiyah Syafi'iyah Tempurejo.  Sekolah yang beralamatkan di Jalan KH Abdurrahman No 31 Dusun Krajan Tempurejo itu memiliki budaya pengajaran yang menarik. Meskipun bukan pesantren murni, sekolah yang berada di bawah naungan yayasan tersebut kental akan budaya pesantrennya.
Hal itu dibenarkan oleh Wakil Kepala Sekolah Mima Syukron Habibi. Menurutnya, adanya budaya pesantren di lembaganya itu bertujuan mendidik ahlak siswa sejak dini. "Karena sepintar apapun seorang siswa, ahlak itu tetaplah yang utama. Itu yang coba kami tanamkan kepada anak-anak," tutur Habibi.
Dari sekian rutinitas itu kata Habibi, Pelaksanaannya menyesuaikan dengan kemampuan siswa tingkat sekolah dasar. "Kami libatkan semua siswa mulai kelas satu sampai kelas enam. Biasanya kami laksanakan di dua jam pertama, atau pukul 06.45 hingga 08.15,” imbuhnya. Dia mengakui, budaya pesantren tidak sepenuhnya bisa diterapkan karena memperhatikan kemampuan anak-anak yang masih berusia belasan tahun.
Diantara rutinitas itu, Habibi menjelaskan yang paling sering dilakukan anak-anak. "Setiap pagi kami ajak anak-anak sholat Dhuha, setelah itu dzikir bersama," ujarnya. Rutinitas setiap pagi itu diakuinya cukup efektif membangun karakter para siswanya.
"Setiap pagi, mereka kita latih membiasakan diri untuk disiplin waktu. Dengan istiqomah seperti itu, kami yakin bisa membangun karakter religius anak," imbuh pemuda 26 tahun itu. Selain rutinitas tersebut, ada juga yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali. “Setiap Jumat, kami adakan tahlilan, istighosah dan hadroh," tutur Habibi.
Pada Jumat tersebut, kata Habibi para siswa juga diberikan tausiyyah agama dan pendidikan ahlak. “Kalau hari-hari bisa butuh waktu dua jam pelajaran, kalau jumat bisa kita gunakan hingga tiga jam pelajaran,”. Tuturnya.
Dia mengakui, kendala terbesarnya adalah ketika awal kali mengajak anak-anak. “Biasalah namanya anak, kecenderungan bermainnya cukup besar, butuh waktu bertahap. Ketika sudah terbiasa, mereka mudah kita arahkan,” ungkapnya.
Untuk mencegah kejenuhan para siswanya itu, lanjut Habibi, tak jarang sekolah juga mengajak para siswa adakan pembelajaran outdoor. “Setiap sabtu kami ajak anak-anak belajar dan olahraga diluar sekolah. Kadang jalan-jalan di galaksi,  di area kebun karet, dan lain-lain.” Pungkasnya.  (mg2)

Komentar

POPULER

đź’ˇNARASI KADERISASIđź’ˇ (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember