REFLEKSI GERAKAN MAHASISWA ERA KONTEMPORER


                                                            Oleh; Filsuf Proletar
mahasiswa takut sama dosen, dosen takut sama dekan, dekan takut sama rektor, rektor  takut sama menteri, menteri takut sama presiden, presiden takut sama mahasiswa...”
Mendengar kata mahasiswa bagi sebagian kalangan atau masyarakat awam mungkin akan terlihat sebagai insan akademis yang memiliki segudang ketrampilan, pengetahuan, berbudi luhur serta kualitas yang pantas diperhitungkan, karna maindset masyarakat menganggap bahwa output perguruan tinggi(mahasiswa) ketika sudah meninggalkan bangku perkuliahan dan terjun ke masyarakat dirasa sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan mempunyai masa depan yang cerah, namun yang terjadi sekarang sudahkah seperti demikian ??. Pertanyaan seperti ini kerap kali memunculkan spekulasi bahwasanya produk perguruan tinggi mungkin dicetak lebih berorientasi pada kebutuhan pasar dan persaingan didunia kerja, bukan lagi sebagai tempat menelorkan para generasi pemuda yang mempunyai peran penting sebagai penerus perjuangan cita-cita bangsa.
Masih segar dalam ingatan penulis ketika menjalani orasi ilmiah atau yang biasa kita kenal dengan orientasi pengenalan akademik dan kemahasiswaan(Opak) bahwasanya dipaparkan tentang hakikat mahasiswa yang tertuang dalam tri fungsi mahasiswa sebagai agen of change, angen of control, dan agen of analysis, yang mana jargon semacam ini masih dinilai sebagaian kalangan mahasiwa hanya sebagai wacana yang usang dan hanya selesai ditataran Opak saja, hal demikian menjadi salah satu gejala awal mulai hilangnya fitrah yang idealnya harus dimiliki oleh setiap mahasiswa, dan tidak sedikit pula beberapa dari mereka menganggap perguruan tinggi adalah salah satu tempat belajar tak ubahnya seperti dibangku SMP/SMA, atau sekedar pelampiasan mengisi waktu luang, belum lagi pengaruh kebijakan kampus yang otoriter yang sangat mempengaruhi ruang gerak mahasiswa, serta sistem pendidikan yang kapitalis yang mengarah pada proses dehumanisasinya peserta didik atau mahasiswa.
Perguruan tinggi atau sekolah hanya sekedar menjadi transfer pengetahuan yang kemudian diseragamkan dalam sebuah kurikulum, kondisi seperti inilah yang membuat sekolah telah membelenggu peserta didik.Situasi seperti ini telah menciptakan kesadaran dalam masyarakat bahwa sekolah adalah satu-satunya yang akan berhak menjamin keberhasilan dan kualitas seseorang.[1] anehnya mereka tidak sadar dan seolah olah terbius oleh sistem yang telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga kesemuanya itu dianggap sudah menjadi tradisi dan bagian yang dari proses pendidikan.
Beberapa contoh diatas merupakan bagian kecil namun pengaruhnya pada mahasiswa sangatlah besar, secara perlahan tapi pasti memangkas kreatifitas dan potensi bawaan, menumpulkan pisau analisis mahasiswa dalam segala hal, kepekaan mereka terhadap keadaan sekitar sangatlah minus, kekritisan yang yang dibangun hanya selesai ditataran penguasaan materi-materi perkuliahan, karna pola fikir yang mereka bangun tertuju pada nilai yang memuaskan. Hal demikian perlu diluruskan karna seorang mahasiswa tidak hanya dituntut mengejar akademisi tetapi sesuai yang tertuang pada tri fungsi mahasiswa yang memberikan peran dan kedudukan yang tinggi sebagai bagian dari masyarakata yang kemudian dibuktikan dengan sebuah tindakan nyata dan berkomitmen memperjuangkan cita-citanya(idealis). Apakah mahasiswa idealis itu mereka artikan mahasiswa yang tiap semester mendapat predikat cumload ?? Tentunya tidak, nilai bukan jaminan penentu kualitas seseorang, kadang-kadang juga ada doktrin wacana dr Mr/Mrs. X, “nanti kalau seleksi CPNS atau semacamnya, itu biasanya dicari yang nilai indeks prestasi(IP) yang tinggi..” ini adalah salah satu bentuk pembodohan yang nyata. Alhasil model pemikiran yang terbangun bukan lagi berbentuk “sami’na wa anaalisa, melainkan sami’na waato’na...”[2]. Apa kalian mengiginkan zamannya siti nurbaya terulang kembali..???
Mengapa penulis mengkritik sangat keras terhadap pola fikir mahasiswa yang demikian, karna meskipun Indonesia sudah merdeka 70thn yang lalu, namun penjajahan yang sesungguhnya masih mengakar pada saat ini, kita bukan lagi perang angkat senjata atau membombardir lawan, tapi perang mempertahankan Ideologi[3] kita pancasila, dari pengaruh ideologi luar yang dapat mengancam keutuhan NKRI, perang melawan bangsa kita sendiri dari segala bentuk penindasan, perang membela yang Hak dan melawan yang Batil.
Jika kita flashback kembali sejarah gerakan mahasiswa pada tahun 1945 peranan mahasiswa dan pemuda sangatlah penting sehingga Soekarno bersedia membacakan teks Proklamasi[4]. Pada tahun 1965, yang telah berhasil memelopori perubahan kekuasaan dari rezim Orde lama Soekarno ke rezim Orde baru Soeharto. Dan juga yang paling sering mengusik perhatian penulis sekaligus menjadi refleksi  adalah sejarah gerakan mahasiswa era Orde baru yang berhasil membius perhatian publik Nusantara bahkan lingkup internasional, hal senada menjadi kegelisahan dikalangan praktisi pendidikan saat itu, semisal seperti kejadian Semanggi dan tragedi Trisakti yang banyak merenggut korban jiwa khususnya dikalangan mahasiswa. Berangkat dari berbagai kalangan dan latar belakang yang heterogen, mahasiswa baik laki-laki atau perempuan yang dikawal oleh beberapa organisasi kemahasiswaan, komunitas maupun himpunan, semuanya terbangun atas rasa solidaritas yang tinggi dan tanggung jawab untuk memperjuangkan yang Hak, kemudian secara masiv mereka bergerak dan menyuarakan asa. Gas air mata dan tembakan senapan angin yang bisa saja mengancam nyawa mereka tidak sedikitpun menyiutkan nyali,  justru menjadi penyulut semangat juang yang mulia yang terbalut dengan tiraian Doa dan linangan air mata, kemudian berhasil mengubah sejarah yaitu dengan tergulingnya dominasi pemerintahan rezim Soeharto.
Keberadaan gerakan mahasiswa tidaklah Taken For Granted yang tiba-tiba muncul begitu saja, perkembangan gerakan mahasiswa harus selalu berkaitan erat dengan situasi sosial dan politik yang menurut mereka tidak adil, gerakan mahasiswa harus selalu bergerak dan terus bergerak jika melihat kekuasaan yang menindas rakyat, mahasiswa sulit dibendung gerakannya, meskipun sudah dilarang oleh penguasa, sebagai misal adalah gerakan mahasiswa 1998 yang sejak 1978telah “ditertibkan” oleh Orde baru melalui serangkaian regulasi yang membuat mahasiswa sulit bergerak. Namun ternyata gerakan mahasiswa selalu terus bergerak dengan strategi yang justru lebih kreatif.[5]


BERSATU DALAM MASSA AKSI..!!!
Mendidik penguasa dengan perlawanan,
Mendidik rakyat dengan organisasi..”(Tan Malaka)


[1] Ivan Illich bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 1
[2] Disampaikan Oleh Drs. H. Sukarno, M.Si, dalam orasi orientasi pengenalan akademik dan kemahasiswaan(OPAK) DEMA IAIN Jember (13/08/2015)
[3] Ideologi berasal dari kata Yunani, yaitu idea yang berarti “rancangan pikiran, prakarsa, gagasan, cita-cita”,  dan logos yaitu “teori”, jadi  ideologi adalah suatu teori dari ide-ide kelompok atau kumpulan ide-ide yang beratur atau bersistem yang dijadikan sebagai asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan, baik dalam bidang sosial, politik dan ekonomi maupun hukum untuk kelangsungan hidup. Lihat juga Tim prima pena, kamus ilmiah populer, Surabaya, gitamedia press, 2006, hal186. Lihat juga firmanto, Gempar; ide dan kesan dalam pandangan Hume, hal 90. Lihat juga kristeva, nur sayyid santoso, seri ideologi dunia, 2008, buku panduan sekolah ideologi satu.
[4]Kristeva, Nur Sayyid Santoso, HistorisitaS PMII dan Genealogi Gerakan Mahasiswa (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 136.
[5]Ibid, 137

Komentar

POPULER

💡NARASI KADERISASI💡 (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember