STRATEGI PENGEMBANGAN PAHAM ASWAJA




STRATEGI PENGEMBANGAN PAHAM ASWAJA[1]
(Reaktualisasi Ajaran Aswaja ditengah Pergumulan Ideologi Liberal)
Oleh: Maulana[2]

A.    Prawacana
Islam dalam alur sejarah peradaban manusia mengemban misi sebagai agama Rahmatan Lilalamin, dengan menjadikan tauhid sebagai fondasi seluruh bangunan ajaran Islam. Pandangan terhadap tauhid bukan sekedar pengakuan akan ke-Esa-an Allah, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan (Unity Of Creation), kesatuan kemanusiaan (Unity Of Mankind), kesatuan tuntunan hidup (Unity Of Guidance), bila pengertian ini ditarik dalam kehidupan sosial, maka tauhid tidak mengakui adanya kontradiksi-kontradiksi berdasarkan kelas, keturunan dan latar belakang geografis.[3]
Pandangan pengetahuan modern saat ini mulai menyetting orientasi pendidikan seakan harus memenuhi kebutuhan pasar agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman sehingga output pendidikan hanya mencetak manusia-manusia pekerja dan menggapai sukses duniawi, sementara pendidikan yang menyangkut aspek-aspek spiritual mulai kurang menarik karena sudah dirasa cukup didapatkan di pesantren atau tempat pengajian. Bukankah Islam sebagai pandangan hidup yang berdasarkan nilai-nilai Illahiyah, baik yang termuat dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara aqidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu selalu sesuai dengan fitrah manusia baik secara duniawi maupun ukhrawy, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimana saja (Likulli Zamanin Wa Makanin).
Ketauhidan seseorang sangat menentukan kadar ketaqwaan seorang muslim, apakah dia benar-benar beriman secara kaffah kepada Allah Swt atau justru beriman namun ternyata menyimpang dari ketentuan syariat dan lebih parahnya sudah merasa imannya yang paling benar dan mengklaim golongan lain yang tidak sejalan sebagai sesat. Untuk meluruskan pandangan seperti ini seorang muslim wajib hukumnya untuk taqlid kepada ulama yang mempunyai kapasitas sebagai imam mujtahid dan telah diikuti oleh mayoritas ummat Islam seluruh dunia. Dari sekian ulama dan pengikutnya yang masuk dalam golongan ini mereka menyebutnya sebagai golongan Ahl Sunnah Waljamaah.
Ahl Sunnah Waljamaah yang selanjutnya di singkat “Aswaja”  merupakan identitas Islam garis lurus yang dibawa oleh ulama-ulama, Salafiyyun,[4] sahabat, sampai tersambung kepada Nabi Muhammad Saw. Meskipun Aswaja yang seluruhnya mengadopsi dari Al Quran dan Sunnah Nabi, dalam menangkap pemahaman tersebut sering kali menuai pro kontra yang memunculkan firqoh-firqoh yang saling klaim antara satu sama lain, klaim kebenaran (Truth Claim) sangat rawan menumbuhkan saling curiga dan perpecahan antar ummat Islam.

Kata Kunci: Ideologi, Aqidah Aswaja.

B.     Eksistensi Aswaja Era Kontemporer
Adanya kelompok-kelompok Islam radikal dan liberal [5] yang secara terang terangan mengajarkan Islam dan menyebarluaskan doktrin ketauhidan dengan segala pemahaman individu dan penafsiran yang rancu, sangat mengancam para pengikutnya keluar dari jalur ajaran Islam. Kelompok Islam ini seringkali mendebat dan memukul dengan keras terhadap segala sesuatu yang berbau tradisi dan budaya lokal sebagai bid’ah dan sesat. Contoh semisal pendapat kaum modernis atau puritan seperti Wahabi-Salafi selalu meragukan ajaran kaum Nahdliyin bahkan semena-mena menyalahkan tanpa ada dasar argumentasi yang jelas.
Sedangkan bagi mereka selain warga NU yang selama ini rajin menuduh bahwa NU adalah gudangnya takhayyul, bid’ah, c(k)hurafat (biasa mereka singkat TBC), bahwa yang dilakukan ummat Islam yang berafiliasi dengan NU ternyata memiliki dasar dalil. Minimal mereka menjadi sosok yang dapat memahami perbedan ditengah ummat dengan cara yang santun, dewasa, dan arif. Perbedaan dalam masalah furu’iyyah (cabang agama) adalah suatu keniscayaan, bukan malah menjadi suatu senjata yang digunakan untuk menyerang sesama saudara seiman dan seagama. Kalam bijak menuturkan, kita boleh meyakini suatu pendapat, tetapi tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat kita, selagi hal itu berada dalam ranah furu’ dan tidak terkait dengan masalah keyakinan aqidah.
C.    Perebutan atas Bendera Aswaja
Pembicaraan mengenai aswaja tentunya tidak lepas dengan sekelompok golongan yang menyatakan dirinya sebagai golongan yang paling benar sesuai dengan beberapa hadis yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. Dari kesemuanya itu merujuk pada golongan yang disebut ahl sunnah atau ahl sunnah waljamaah, sehingga pembicaraan mengenai aqidah selalu berputar pada aliran-aliran ataupun segala pernak-pernik di aswaja itu sendiri. Mengingat modernisasi pada zaman ini bukan hanya membawa angin segar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi turut serta mengundang beragam ideologi asing yang mulai mengakar kuat dimasyarakat, tidak sedikit diantara mereka melakukan tindakan-tindakan konfrontatif melalui pemikirannya sampai menyoal kembali tatanan syariat yang sudah dijamin kemurniannya oleh ulama-ulama salaf. Tentunya hal ini akan menyulut perselisihan antar ummat muslim, maka dirasa sangat perlu sebuah langkah untuk menepis segala tindakan kelompok-kelompok tersebut, terlebih lagi ummat Islam harus mempunyai semacam tameng aqidah yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil.
Maa Ana Alaihi Wa Ashaby setidaknya telah menjadi istilah yang kerap diklaim oleh banyak golongan untuk mendapat pengakuan atas identitasnya sebagai kelompok Islam yang lurus, hal ini diikuti dengan semakin banyaknya bermunculan buku-buku atau pemikiran teologi dengan penyajian bahasan yang bervariasi dari beberapa golongan. Dan tidak menutup kemungkinan tersisip kepentingan yang bersifat pragmatis yang tujuannya semata mata untuk pembenaran terhadap ideologi suatu kelompok. sehingga istilah Ahl Sunnah waljamaah semakin populer dikajian pemikiran Islam, sekaligus amunisi paling mematikan untuk memberantas golongan lain yang menyimpang. Semua sepakat bahwa aswaja memang ajaran yang diwariskan Rasulullah Saw kepada umatnya. Hanya saja Rasulullah Saw tidak menyebutkan nama golongan tertentu yang termasuk didalamnya, Rasulullah Saw hanya menyebutkan indikasi dan kriteria-kriteria ummatnya yang disinyalir sebagai golongan yang selamat dari siksa neraka. [6]
Belakangan bermunculan aliran dalam Islam yang mengusung misi pemurnian ajaran Islam sesuai yang diwasiatkan oleh Rasulullah Saw dan berkecenderungan menolak segala bentuk pembaharuan dalam ajaran Islam itu sendiri, terutama masalah aqidah dan amaliyah yang tidak pernah ada atau Rasulullah Saw sendiri tidak melakukan amaliyah tersebut. Sementara aqidah dan amaliyah mereka sendiri sangat jauh sekali dari tuntunan yang ajarkan oleh ulama sebagai penyambung nasab ajaran kepada Rasulullah Saw, hal demikian bukan lagi sebuah keniscayaan yang harus kita rawat perbedaan cara pandangnya, akan tetapi permasalahan pelik ditengah ummat muslim yang harus diluruskan.
D.    Strategi Pelurusan Aqidah Sesuai Ideologi Aswaja
Pada masa sekarang kaum muslimin sangat membutuhkan rujukan atau pemikiran seperti yang dikarang oleh beliau Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari, karena pada zaman sekarang ini sangat susah dibedakan mana aqidah yang dijalankan oleh ulama yang benar dan mana mereka yang berahlak rendah, karena kebenaran dan kebatilan telah bercampur baur, orang-orang bodoh telah berani tampil untuk berfatwa, padahal pemahaman mereka terhadap Al-Quran dan Hadits sangatlah dangkal. KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul “Risalah AhlusSunnah Waljamaah” datang dengan membawa penjelasan yang sangat detail, yang jauh dari sikap “ngawur dan sembrono”. Agar mereka yang mempelajarinya terlepas dan terhindar dari kebodohan dan kesesatan, sehingga mereka dalam perkataan dan perbuatannya senantiasa mendapat pertolongan dan petunjuk Allah Swt.[7]
Banyak sekali pemikiran-pemikiran ketauhidan atau kajian permasalahan aqidah yang dibawakan oleh ulama yang pada zamannya memiliki perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan KH. Hasyim Asy’ari dan terlebih lagi pemikiran tersebut mulai mengakar kuat dimasyarakat muslim yang masih awam, adanya KH. Hasyim Asy’ari melalui pemikiran dan karya-karyanya sebagai kritik keras dan jawaban atas permasalahan ummat, serta masih sangat relevan dengan kondisi saat ini untuk dikaji lebih mendalam dan dijadikan pijakan. Tanpa mengesampingkan pemikiran atau gagasan ulama lain yang memiliki persamaan pandangan dengan KH. Hasyim Asy’ari. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak sampai kepada hal-hal yang mendasar dan berakibat fatal, sehingga adanya perbedaan pandangan tersebut menjadi rahmat akan luasnya samudra pengetahuan Allah Swt.
E.     Strategi Penyebaran Doktrin Aswaja di Kampus dan Masyarakat
Ciri khas paham ahl sunnah adalah berpegang pada kaidah fiqh  yang berbunya “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik, sambil menerima tradisi baru yang lebih baik).[8] Tradisi-tradisi keagamaan yang berkembang dimasyarakat saat ini sangat beraneka ragam, khususnya amaliyyah yang sering dilakukan oleh kalangan Nadliyin atau NU, disatu sisi ada masyarakat yang hanya ikut-ikutan menjalankan amaliyyah tersebut karena dibawa oleh tokoh agama di lingkungannya, di sisi lain ada beberapa memang dari masyarakat yang memang paham benar terkait dasar-dasar amaliyyah tersebut. Akan tetapi kesemuanya dibenarkan oleh Kiai Hasyim bahwa mereka yang melakukan tawassul, istighatsah, dan syafa’at dimaknai sebagai perkara yang dapat menjadi sebab mendekatkan diri kepada Allah Swt dan menjadi perantara dikabulkannya segala kebutuhan manusia oleh Allah Swt.
Perjuangan untuk melestarikan ajaran-ajaran amaliyyah Nahdliyin, ini harus terus digalang dan disosialisaikan ditengah-tengah ummat. Lebih-lebih dewasa ini dimana norma-norma agama banyak tergerus oleh arus modernisasi. Bersama itu orientasi dan pola kehidupan masyarakat juga berubah. Masyarakat akhirnya terjebak dalam jurang yang dipenuhi nafsu duniawi. Namun lambat laun manusia sadar, dunia tak memberinya ketenangan, yang ada hanyalah kegelisahan demi kegelisahan yang setiap saat merajam kehidupannya. Disinilah muncul  kesadaran bahkan gerakan untuk kembali kepada nilai, norma, serta tradisi agung yang selalu mengedapankan kebersamaan, persaudaraan, kebersahajaan serta kedamaian. Kita semakin paham betapa pentingnya majelis dzikir, ratib haddad, tahlilan, istihatsah, dan yasinan sebagai media pendekatan diri kepada Allah Swt dan penentram jiwa sekaligus ajang silaturrahmi.[9]
Hal demikian sangat logis sekali, mereka khususnya warga nahliyin dengan niatan-niatan taqarrab kepada Allah Swt sama sekali tidak ada indikasi melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at. Jadi sangat mustahil amaliyyah-amaliyyah ummat tersebut ada indikasi mempercayai suatu dzat diluar kekuasaan Allah Swt. Sekali lagi perkara ada sekelompok ummat yang menolak atau kurang setuju akan ke-sunnah-an amaliyyah-amaliyyah tersebut, bukan menjadi masalah yang harus diperdebatkan panjang yang memicu perpecahan, seperti yang diurai diatas bahwa perbedaan pandangan dalam masalah furu’iyyah adalah sebuah keniscayaan yang sebenarnya merupakan karakter akan ahl sunnah itu sendiri
F.     Refleksi
Pembicaraan mengenai Aswaja dalam bidang aqidah sebagai sebuah sistem kepercayaan seorang muslim, ummat Islam tidak bisa lepas dari kedua sosok ulama seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu  Mansur Al-Maturidi sebagai tokoh pelepor Aswaja yang telah diakui kredibilitasnya oleh ulama-ulama Islam seluruh dunia, hal ini yang kemudian dijadikan landasan oleh ulama-ulama Nusantara dalam mengembangkan pahama keagamaan Aswaja, Jika kita peras dan diambil saripatinya, aswaja menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah setiap muslim yang secara fiqih mengikuti empat Imam mazhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali), dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi, dan dalam Aqidah mengikuti Imam abu Musa al-Asy’ari dan abu Mansur al-Maturidy. Sederhananya menerima dan meyakini ketiga doktrin tersebut masuk sebagai golongan aswaja, dan sebaliknya, menolak dan mengingkari ketiga doktrin tersebut dipastikan bukan lagi aswaja.
Daftar Pustaka

Abdusshomad, Muhyiddin. 2008. Hujjah NU: Akidah-Amaliah-Tradisi. Surabaya: Khalista
Achmadi, 2010, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hasyim Asy’ari, Muhammad. 1418 H. Risalah Ahl Al-Sunnah Wa Al Jama’ah Jombang: Maktabah Al-Turats.
Idrus Ramli, Muhammad. 2009. Madzhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunah Wal-Jamaah?. Surabaya: Khalista dan LTN NU
Kristeva Nur Sayyid Santoso, 2012, Buku Panduan Sekolah Aswaja, Cilacap: Komunitas Santri Progresif
Tim Penulis, 2012, Trilogi AhluSunnah: Akidah, Syariah dan Tasawuf, Pasuruan: Pustaka Sidogiri
Zuhri Saifuddin, 2009, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari (Jombang: Pustaka Warisan Islam.




[1] Diajukan sebagai prasayarat mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL) oleh PC PMII Situbondo pada tanggal 17-21 Februari 2018.
[2] Mahasiswa aktif IAIN Jember, salah satu kader PMII IAIN Jember, pernah tercatat sebagai ketua II bidang keilmuan rayon FTIK IAIN Jember dan sekarang aktif di Kepengurusan Komisariat PMII IAIN Jember sebagai CO Networking.
[3] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 85.
[4] Salafiyyun yaitu kaum yang memegang teguh pada garis-garis besar yang ditetapkan oleh ulama salaf yang saleh. Dan sesungguhnya kelompok Salafiyyun adalah mayoritas (yang dijamin kebenarannya oleh Raslullah). Kelompok Salafiyyun yang secara aqidah dan amaliyah syari’at sepakat dengan ulama tanah haram dan para cendikiawan Universitas Al-Azhar yang sudah terkenal dan menjadi kiblat panutan kaum muslimin. Lihat dalam buku karangan Saifuddin Zuhri, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari (Jombang: Pustaka Warisan Islam, 2009), 30.
[5] Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan diantaranya membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam berdasarkan semangat religio-etik Al-Quran dan Sunnah Nabi, mempercayai kebenaran yang plural, terbuka dan relatif, bisa benar bisa salah, hanya Allah yang memiliki kebenaran (relativisme). Meyakini keberpihakannya pada golongan minoritas dan tertindas dalam hal agama, ras, jender, budaya, politik dan ekonomi. Islam liberal juga meyakini bahwa urusan beragama ataupun tidak beragama merupakan hak perorangan yang harus dilindungi dan dihargai, mereka juga memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut atau pembebasan dunia dari agama (sekularisasi), lihat dalam Tim Penulis, Trilogi AhluSunnah: Akidah, Syariah dan Tasawuf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2012), 152.
[6] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Buku Panduan Sekolah Aswaja (Cilacap: Komunitas Santri Progresif, 2012), 9.
[7] Ishomuddin Hadziq (Cucu KH. Hasyim Asy’ari) dalam Muqoddimah kitab Risalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Lihat dalam Zuhri, Konsep Aswaja, 3.
[8] Abdul Latif Bustami, Resolusi Jihad: Perjuangan Ulama dari Menegakkan Agama Hingga Negara (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2015), 98.
[9] Muqaddimah KH. Muhyiddin Abdusshamad dalam bukunya, Hujjah NU; Akidah, Amaliyah, Tradisi (Surabaya: Khalista, 2008)

Komentar

POPULER

đź’ˇNARASI KADERISASIđź’ˇ (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember