Sinergisitas Empat Pilar Kebangsaan Modal Menuju Indonesia Berdaulat

Sinergisitas Empat Pilar Kebangsaan Modal Menuju Indonesia Berdaulat

Oleh : Maulana Al-Fatih
(Kabid II Keilmuan Masa Pengabdian 2016-2017)
  • Prawacana
Islam dalam mengemban misi Rahmatan Lillalamin memiliki dimensi nilai – nilai luhur ketuhan maupun sosial, aspek ketuhanan berbicara bagaimana pola hubungan seorang muslim kepada Allah SWT, baik secara ritual peribadahan ataupun masalah akidah, sedangkan aspek sosial mengatur  bagaimana pola hubungan seorang muslilm terhadap sesama muslim lainnya. keberadaan islam sendiri di Indonesia tidak terlahir dari ruang yang hampa, rentetan sejarah panjang turut mewarnai perkembangan islam masuk dan tersebar ditiap lapisan masyarakat Indonesia yang multikultural. Hadirnya islam tidak hanya sebagai akulturasi terhadap kebudayaan Indonesia, tetapi memegang posisi penting dalam mengawal risalah berdirinya bangsa Indonesia, perjuangan kemerdekaan, sampai kepada problem kenegaraan baik yang ditunggangi oleh kepentingan politik maupun konflik atas nama SARA.
Menjadi suatu keniscayaan Indonesia yang kaya akan etnis, ras, suku, budaya dan agama merupakan wujud konkrit lahirnya asas kebhinekaan yang menjadi landasan masyarakat Indonesia menjungjung tinggi toleransi. Jika masyarakat Indonesia cerdas, perbedan demikian akan menjadi bingkai harmonisasi berbangsa dan bernegara, dengan saling mengasihi, saling menolong dan mendukung. Namun sebaliknya minimnya kesadaran masyarakat bukan tidak mungkin akan memunculkan konflik yang menyulut pada pertikaian dan perpecahan bahkan bisa mengancam keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Unsur pluralitas seringkali dipahami sebelah mata oleh sebagian kalangan masyarakat, bahkan memelintir makna subtantif dari pluralitas itu sendiri. Pluralitas adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya) kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.[1]Sederhananya pluralitas adalah keragaman kearifan lokal suatu daerah yang layak dihargai, dijaga serta dilestarikan.
Kesadaran memaknai keragaman inilah yang mempengaruhi masyarakat dalam mengartikan makna pluralitas, sehingga produk hasil pemikirannya terkesan kurang sesuai ketika dibenturkan dengan realitas sebenarnya dilapangan. Keberadaan islam sendiri harus mampu mengkover pluralitas dan konstitusi syariah dengan spirit keislamannya, sehingga spirit ‘NKRI harga mati’ tidak hanya menjadi wacana yang usang termakan usia, tapi benar-benar mampu melahirkan bukti konkrit dengan suatu tindakan yang transformatif.
Disisi lain makna transformatif harus mampu mentransformasikan gagasan`  dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat, model transformasi tersebut antara lain: transformasi dari elitis ke populis, transformasi dari negara ke masyarakat, transformasi dari stuktur ke kultur dan transformasi dari individu ke massa.
  1. Islam Memandang Pancasila sebagai sebuah konsensus
Pancasila menjadi kerangka ideologi negara yang memuat prinsip-prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang syarat dengan nilai-nilai ketuhanan dan kehidupan sosial, bahkan sebagian besar nilai-nilai dalam pancasila mengadopsi dari Al-Qur’anul Karim yang diyakini oleh umat muslim sebagai otoritas tertinggi dalam hukum islam dan hadist Nabi Muhammad SAW yang telah diakui kredibilitasnya sebagai sang revolusioner agung pembawa risalah islam sekaligus, sama sekali tidak ada menyimpang dari ajaran islam, jadi sangat tidak mungkin jika pancasila bertentangan atau kurang sejalan dengan ajaran islam. Salah satu contoh sila pertama dalam pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, muslim yang cerdas pasti bisa membaca bagaimana rasionalisasi dari redaksi sila pertama tersebut. Indonesia memiliki enam agama resmi setelah terakhir presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) meresmikan agam Konhucu sebagai agama resmi negara, sangat logis sekali jika Indonesia yang mempunyai enam agama memprioritaskan masyarakat untuk menjungjung tinggi nilai-nilai keagamaanya sesuai keyakinan masing-masing tanpa adanya upaya mencela atau menista keyakinan agama lain, yang dalam hal ini Al-Quran secara tegas melarang umat muslim untuk menggangu orang non muslim dalam menjalankan ritual agama mereka. Dan jika dikaji lebih dalam lagi tidak ada agama selain islam yang mengakui ke-Esa-an  tuhan, menyembah satu dan hanya satu tiada yang lain, bahkan untuk mempertegas ke-Esa-an Allah SWT tersebut kalimah Laa Ilaha IllaAllah (tiada tuhan selain Allah) pertanyaan sederhannya, apakah ada agama selain agama islam yang yang tuhannya berfirman seperti ini ?. jadi jelas nilai-nilai ketuhanan disini ditujukan agar masyarakt Indonesia mampu memegang teguh prinsip keagamaanya serta mengamalkannya, terlepas apakah itu islam, protestan, hindu ataupun budha. Inilah yang kemudian menjadi faktor penting penentu kesatuan dan persatuan kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini juga menepis pandangan miring sebagian kelompok yang mengatakan bahwa ideologi pancasila tidak sesuai dengan asas kebhinekaan. Pendapat seperti ini yang seharusnya yang harus disikapi, ditindak dan diluruskan dengan cara-cara yang sesuai peraturan agama dan negara.
Namun, tidaklah elok juga jika pemahaman seperti ini dicap islam itu radikal, ekstrim, intoleran oleh sebagian kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan untuk memecah belah persatuan. Bahkan hal itu sebagaian datang dari kalangan islam sendiri. Inilah yang dimaksud kegagalan suatu kelompok masyarakat dalam memahami pluralitas. Dalam konteks beragama bahwasanya tiap pengikut ajaran terlepas itu islam ataupun non islam wajib membenarkan terhadap apa yang diyakininya, karna hal tersebut mengandung sebuah prinsip dan hak priogratif penganut agama, keyakinan atau iman seseorang akan menjadi kabur apabila dia meyakini semua kebenaran agama bahkan menyalahkan suatu penganut agama yang mengklaim dirinyalah yang paling benar (pluralisme)[2]. Hal senada juga pernah disampaikan dalam fatwa majlis ulama Indonesia (MUI) bahwasanya sekularisme, pluralisme dan liberalisme haram hukumnya diterapkan di Indonesia. Karna pemahaman seperti dinilai kurang sesuai diterapkan di Indonesia serta dapat menjadi pemicu perpecahan dan konflik.
  1. Mendialogkan agama kepada realitas sosial dalam rangka mendesign keutuhan NKRI
Masih teringat ketika salah satu mantan ketua umum PBNU KH. Hasyim Muzadi pernah berkata bahwasanya, “untuk memecah belah ummat beragama di Indonesia, hanya perlu bermodalkan dua liter bensin, satu untuk membakar masjid dan satu lagi ntuk membakar gereja, maka terjadilah konflik tersebut.” Pernyataan beliau tersebut sangat mungkin terjadi dimasyarakat, ketika ada kejadian real dimasyarakat tanpa adanya penyidikan, tanpa adanya penggalian masalah sudah dipastikan isu diusung adalah konflik antar ummat beragama, karna stigma yang tertanam dimasyarakat adalah masjid, gereja atau pure merupakan simbol keramat penganut suatu agama, jika terjadi suatu masalah pada tempat-tempat tersebut, maka klaim kesalahan mengarah pada penganut agama yang lain.
Contoh diatas merupakan sebuah sintesa dalam menggambarkan bagaimana lahirnya akar permasalahan atau konflik yang mengatasnamakan agama. Setiap agama mempunyai cara masing-masing bagaimana mengatur pola hubungan yang harmonis antar sesama penganut agama, agama tidak hanya dipahami sebagai sistem nilai dan lokus ritual peribadahan, yang menjadi candu bagi masyarakat, karna mengingat posisi agama ditengah masyarakat yang plural tidak bisa dipisahkan.
Seiring dengan makin majunya masyarakat indonesia, semestinya semakin terbuka pula tingkat pemikirannya, terbuka artinya menerima perbedaan, menerima berbabagai perubahan akibat desakan kemajuan sosial suatu bangsa atau masyarakat.[3]
  1. Membangun Kesadaran Kolektiv Guna Melawan Aliran atau Paham Ideologi Lain yang tidak Sesuai dengan Pancasila dan Mengancam Keutuhan NKRI
UUD 1945 menetapkan bawa bentuk susunan negara indonesia adalah kesatuan bukan serikat atau federal. Dasar penetapan ini tertuang dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Negara kesatuan adalah negara yang bersusuan tunggal. Suatu bentuk negara yang tidak terdiri dari negara-negara bagin, atau negara yang didalamnya tidak terdapat daerah yang bersifat negara. Dinegara kesatuan, kekuasaan ang mengatur seluruhnya daerahnya ada pada pemerintah pusat sebagai pemerintahan tertinggi, dapat memutuskan segala sesuatu yang terjadi didalam negara, maka didalam negara kesatuan hanya terdapat seorang kepala negara , satu undang-undang dasar yang berlaku untuk seluruh rakyatnya. satu kepala pemerintahan dan satu parlemen (badan perwakilan rakyat).[4]
Kita sama-sama mengetahui akhir akhir ini berhembus indikasi kebangkitan PKI diberbagai wilayah dan organisasi-organisasi separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta gerakan mengusung negara khilafah yang gagas oleh aliran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kesemuanya sering kali meleset dari perhatian publik. Setidaknya peristiwa G30/PKI benar benar menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia bagaimana biadabnya gerakan mereka sehingga harus mengorbankan ratusan ribu nyawa melayang. Serta kejadian lepasnya Timor-Timor dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak sampai terulang lagi untuk sekarang dan seterusnya.
Dalam membangun kolektivitas kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kedaulatan negara juga harus didukung oleh elite birokrat dan pemangku kebijakan publik, inilah yang disebut sinergisitas antara negara dan masyarakat dalam memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Namun permasalahannya adalah keterlibatan aparat atau dari pihak masyarakat Indonesia sertadanya intervensi dari asing dalam mengusung misi ideologis dan memecah bangsa Indonesia, inilah muara kesadaran akan pentingnya sikap toleransi sebagai bangsa yang mempunyai komitmen untuk kesejahteraan bersama. Masyarakat Indonesia memang harus menjungjung tinggi sikap toleransi dan menempatkannya sesuai pada porsinya, artinya mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan ritual atau ajaran suatu kelompok tertentu, masyarakat akan saling mendukung dan menjaga selama itu tidak bertentangan dengan pancasila dan undang-undang, masyarakat tidak ada hak untuk mengganggu ataupun memusuhi mereka, akan tetapi jika wacana-wacana mereka menjadi gerakan yang mengancam pancasila dan keutuhan NKRI, apakah itu polisi, pejabat, dewan, gubernur bahkan presiden sekalipun, maka harus ditindak tegas.
Seruan jihad membela tanah air mesti ditanamkan sejak dini, masih egar diingatan kita ketika KH. Hasyim Asyari (tokoh pendiri nahdotul ulama) yang ditanya oleh presiden soekarno “apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Qur’an, sekali lagi membela tanah air?”. Pertanyaan ini sebenarnya telah dijawab pada mukhtamar NU ke-11 dibanjarmasin bahwa, membela tanah air adalah sebagian dari iman sehingga perjuangan itu menjadi jihad dan mempertahankan kemerdekaan lebih berkobar.[5]

Daftar Pustaka
Abduh Shomad  Muhyidin. 2010. Hujjah NU ( Aqidah, Syariah dan Amaliyah).
Surabaya: LTNU dan Khalista Surabaya
Bustami Abdul latif. 2015. Resolusi Jihad. Tebuireng: Pustaka Tebuireng
Hasan  Sandi suwardi. 2008. Problem Laten Tak Berkesudahan(Konflik Sosial
Dan Urgensi Dialog Agama) . Jember: Stain Press
Kasiyanto. 2004. Mendamaikan Sejarah (Analisis Pencabutan TAP
MPRS/XXV/1966). Yogyakarta: LKIS
Kristeva Nur Sayyid. 2015. Manifesto Wacana Kiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: GitaMedia Press
[1] Tim Prima Pena. 2006. Kamus ilmiah populer. Surabaya: GitaMedia Press hal 354
[2] Ibid
[3] Sandi suwardi hasan. 2008. Problem laten tak berkesudahan(konflik sosial dan urgensi dialog agama) . jember: stain press hal 170
[4] Nur sayyid santoso kristeva.2015. manifesto wacana kiri. Yogyakarta: pustaka pelajar hal 68
[5] Abdul latif al bustami. 2015. Resolusi Jihad. Tebuireng: pustaka tebuireng) hal 73

Komentar

POPULER

💡NARASI KADERISASI💡 (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember