Merdeka di Tengah Pendemi




Senin 17 Agustus 2020, momen bersejarah berdirinya republik ini kembali diperingati. Nasionalisme masyarakat sipil kembali membara. Di desa-desa, perkampungan dan rumah-rumah sudah sedari awal mengibarkan sang Saka Merah Putih untuk menyemarakkan momen setahun sekali itu. Pun tak ketinggalan di kota-kota, mereka juga memperingatinya dengan upacara bendera. Meskipun beberapa dilangsungkan secara online.

Nuansa kemerdekaan sedikit berbeda. Sebagian orang menganggapnya berbeda karena pas bertepatan di masa pandemi. Namun sebagian lagi tidak karena demikian. Lebih tepatnya mereka meyakini kemerdekaan dan pandemi tak ada sangkut-pautnya. Mereka memaknai kemerdekaan jelas berbeda, menurut keyakinan masing-masing, menurut harapan masing-masing.

 Sebut seperti petani, tukang becak, kuli bangunan buruh dan masyarakat pinggiran lainnya. "Merdeka bagi saya sederhana: sembako murah," kata Harianto, tukang becak yang biasa mangkal di pertigaan lampu merah Rambipuji, Jember. Pengakuannya terdengar sederhana, tapi sepertinya sulit diwujudkan. Karena kian hari, harga sembako semakin naik. Belum ada sejarahnya sembako turun. Kecuali kalau ada bazar sembako.

Tak hanya tukang becak, masyarakat lain juga sama. Mereka memiliki harapan tersendiri saat kemerdekaan, atas segala permasalahan yang berkait dengan kelangsungan hajat hidup mereka. Seperti petani misalnya, yang akhir-akhir dilanda paceklik kelangkaan pupuk subsidi. Mereka cukup kelimpungan saat mengetahui pupuk habis dan diminta menggunakan non subsidi yang harganya mencapai empat kali lipat. Bayang-bayang panen gagal, komoditi pangan sulit dan sembako naik, sudah mengusik benak hati dan pikiran para pahlawan pangan di negeri ini.

Itu belum seberapa contoh lain, guru misalnya. Label sebagai pahlawan tanpa tanda jasa benar-benar masih melekat kepada para pendidik dan pengajar itu. Mulai dari cerita guru honorer yang harus menafkahi anak dan istrinya, hingga cerita guru yang harus mendaki gunung lewati lembah, terjun ke pedalaman-pedalaman untuk mengajar siswanya. Isu-isu seputar pahlawan pendidikan itu masih kerap menghiasi laman utama pemberitaan media-media lokal hingga Nasional.

Singkat kisah, mungkin kemerdekaan bagi mereka sebenarnya sederhana. Jenjang karir mudah atau minimal tak ada lagi kisah-kisah pilu seputar guru yang sudah lanjut usia namun masih berstatus honorer. Guru honorer, petani dan tukang becak hanya bagian kecil dari potret masyarakat pinggiran di republik ini. Inilah yang membuat kemerdekaan kali ini terasa berbeda, bukan karena pandemi, namun ada perkara yang lebih krusial dan menjadi problem laten tak berkesudahan.

Secercah harapan yang menunggu untuk diperjuangkan. Yah, begitulah potret hari kemerdekaan Indonesia. Ada harapan yang diselipkan oleh masyarakat di berbagai lapisan. Lebih-lebih harapan momen kemerdekaan di tengah pandemi. Setelah berharap kepada yang maha kuasa, lalu kepada siapa lagi mereka berharap jika bukan pada pemimpin mereka saat ini. Harapan mungkin selamanya hanya jadi harapan, siapa tau harapan mereka bisa jadi penyemangat, energi untuk merubah kehidupan mereka dan masyarakat luas ke arah yang lebih baik. Dirgahayu Republik Indonesia ke-75. Merdeka Merdeka dan Merdeka!!!.

Komentar

POPULER

đź’ˇNARASI KADERISASIđź’ˇ (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember