Setelah UN Dihapus, Membangun Superioritas Sekolah atau 'Cuci Tangan' Pemerintah?*




Sejak dihapuskannya sistim Ujian Nasional (UN) hingga saat ini, seluruh aktifitas kegiatan belajar mengajar (KBM) masih digeser secara daring. Semua sistem KBM serentak berpindah haluan menggunakan model tanpa tatap muka dan jarak jauh. Pembelajaran semacam ini mengingatkan sistim KBM di negara-negara maju yang sepenuhnya menggunakan kecanggihan teknologi, tanpa harus berkumpul dalam satu ruang dan waktu.
Dihimpun dari berbagai informasi, dihapuskannya UN memang sempat menjadi rencana yang akan digulirkan pada 2021 nanti. Namun seiring berjalannya waktu, terealisasi setahun lebih cepat. Dalam edaran tersebut alasannya cukup faktual yaitu mencegah berkumpulnya pertemuan masa untuk memutus mata rantai persebaran covid-19 yang sampai hari ini belum diketahui batasan amannya.

Langkah yang terbilang cepat dan tanggap itu tentu kemudian tak lepas dari pro-kontra yang mulai mengalir. Di saat beberapa lembaga telah melewatkan serangkaian persiapan panjang menyambut UN, mereka dipaksa harus banting setir seketika. Bahkan boleh jadi, lembaga-lembaga pendidikan saat ini seharusnya sudah bisa curi start untuk memulai menyiapkan rencana penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran mendatang. Namun apalah daya, korona mengubah segalanya. Semua rencana itu ambyar seketika, sekolah-sekolah harus mereskedul ulang sementara waktu dan fokus membangun sistim secara mandiri untuk kelulusan dan kenaikan siswa mereka.

Memang, wacana penghapusan UN bukan barang baru. Jauh sebelum era kepemimpinan kemendikbud saat ini, tiga periode terakhir menteri pendidikan juga mewacanakan hal serupa. Klimaknya, era kementrian Pendidikan Nadiem Makarim wacana itu benar-benar terealisasi. Bahkan saat baru menjabat pada Desember 2019 lalu, mantan CEO GoJek itu memang datang membawa berbagai wacana yang boleh disebut ‘gebrakan’. Mulai dari wacana pergantian kurikulum, penghapusan honorer, kampus merdeka, hingga penghapusan UN. Dalam teori pendidikan modern, Negara memang harus  hadir dalam setiap pemenuhan hak-hak warganya, tak terkecuali hak mendapatkan pendidikan yang layak. Hal itu juga dijamin dalam Undang-undang. Namun sejauh mana bentuk kehadiran itu, masih tanda tanya besar. Sejak UN diberlakukan hingga hari ini ditiadakan, banyak catatan yang membalut wajah pendidikan negeri ini yang sebenarnya juga tak kalah penting dan berorientasi pada jangka panjang.

Pemerintah tampaknya memang ingin membangun superioritas sekolah sekaligus menambah porsi wewenang mereka terhadap siswanya. Yang artinya, sudah tidak ada lagi keterlibatan pemerintah dalam meluluskan siswa. Hal itu juga digadang-gadang bakal membawa angin segar untuk sekolah saat ujian berlangsung hingga menginjak tahun-tahun ajaran selanjutnya. Mereka bebas mengatur siswa, mulai dari mendidik, menguji, mengevaluasi, hingga menentukan sendiri kelulusannya. Setidaknya biaya les privat siswa untuk menghadapi UN bisa lebih efisien untuk keperluan lain. Mereka tak perlu ikuti bimbel khusus untuk melatih ‘jurus baru’ menaklukan UN. Meskipun, juga menjadi pukulan telak para lembaga-lembaga les belajar privat. Karena bukan tidak mungkin saat UN dihapus mereka bakal gulung tikar berjamaah.

Di sisi lain, kesan bahwa pemerintah sedang ‘cuci tangan’ dari segala permasalahan pandemi covid yang mewabah dunia pendidikan saat ini begitu terlihat. Peniadaan UN sudah otomatis meniadakan keterlibatan pemerintah dalam meluluskan siswa. Banyak yang mengira, pemerintah sedang ingin mengadopsi model pendidikan seperti yang telah dijalankan oleh negara-negara maju dalam hal pendidikannnya. Saat pemerintah tengah sibuk menggalang donasi bantuan untuk penanggulangan covid-19, dana untuk kebutuhan sekolah selama KBM daring nyaris tak ada dalam pembahasan di tiap level pemerintahan manapun. Bukankan mereka juga membutuhkan akses yang memadai selama pemberlakuan home scholing daring di tengah pandemi covid-19?.

Alih-alih mengharapkan dana tersebut, yang ada justru sekolah diminta untuk mengalokasikan sendiri dana penanganan tersebut. Dalam edaran dari Kementrian Pendidikan, terurai cukup jelas bahwa sekolah bisa mengalokasikan penanganan covid-19 ataupun segala kebutuhannya selama masa pandemi secara mandiri melalui Bantuan Operasional Sekolah, BOS atau BOSDA. Sementara yang banyak terjadi, BOS masih menjadi tarik ulur antara kebutuhan operasional sekolah dan honorarium Guru Tidak Tetap (GTT) atau pegawai honorer lainnya. Itu belum seberapa, lebih tragis lagi nasib lembaga sekolah yang magep-magep karena baru merintis dan baru berkembang. Jangankan menggunakan dana BOS, dana BOS nya saja mereka belum punya jatah.

‘Cuci tangan’ itu semakin terlihat jelas tatkala pemerintah pusat mengalokasikan dana penggulangan Covid-19 yang mencapai Rp 405 triliun, sebuah nilai yang fantastis dan alokasi anggaran terbesar dalam sejarah penggulangan bencana di republik ini. Dari mana sumber anggaran itu?, tentu jelas menyunat sumber anggaran di sektor lain. Salah satunya yang yang telah direncanakan adalah pengurangan dana abadi Pendidikan. Bahkan, pemangkasan anggaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu yang ditetapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 31 Maret lalu, sudah menjadi isu nasional yang hangat sampai saat ini. Banyak pendapat menilai, kenapa harus dana pendidikan yang disunat, kok bukan dana infrastruktur pembuatan ibu kota baru saja?. Meskipun belum ada uraian mengenai jumlah pemangkasan anggaran tersebut, yang pasti masa depan pendidikan kita selama atau pasca covid-19 ini berlalu tampaknya belum mendapatkan porsi yang strategis. Justru yang ada malah sebaliknya, kebijakan penghapusan UN harus dibayar mahal dengan rencana dipangkasnya dana abadi pendidikan.

Selanjutnya, menarik diamati bagaimana sekolah-sekolah harus berjibaku menyiapkan segala keperluan pasca dihapuskannya UN, termasuk menyiapkan ujian kenaikan kelas dan ujian kelulusan siswa pekan-pekan ini, yang mana tugas dan tanggung jawab itu harus disiapkan secara daring pula di tempat tinggal masing-masing,(Work From Home). Kemampuan manajemen masing-masing sekolah bakal diuji, mereka bebas berkreasi dengan segala ketentuan baku dari dinas terkait. Manajemen penilaian, assesment ataupun semacamnya yang biasa mereka dapatkan saat workshop dan diklat itu bakal diuji kemampuannya menghadapi situasi pasca UN ini. Sekolah tak perlu lagi harap-harap ada kucuran bantuan dalam bentuk apapun. Dan lagi, honorer, GTT dan sebangsanya sudah terbiasa ‘berpuasa’ dalam situasi sulit, termasuk di tengah paceklik covid-19 saat ini. Sekolah harus legawa sehidup-semati dengan BOS. Dan fiks, sekolah hanya tinggal menunggu ‘gebrakan’ Mendikbud selanjutnya di episode yang akan datang, entah kapan. Seperti beberapa himbauan dari pemerintah-pemerintah terkait belakangan ini, UN dihapus, sekolah sebisa mungkin menyesuaikan atau beradaptasi. Kira-kira begitu.

*Maulana Al-Fatih,
Anggota LTN NU Cabang Jember yang kini juga sebagai Jurnalis di Jawa Pos Radar Jember, dan Alumnus di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember 2018.

Komentar

POPULER

đź’ˇNARASI KADERISASIđź’ˇ (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember