Apa Kabarnya Rayon FTIK ?




Refleksi Kepengurusan Rayon FTIK di Ujung Masa Pengabdian


Teruntuk pengurus rayon, yang hari ini masih menikmati dunianya masing-masing. Untuk kesekian kalinya, curahan kegelisahan itu tersampaikan melalui 'surat cinta' kepada rayon tercinta ini.
Setidaknya, sebagai bentuk kepedulian terhadap mereka yang sebenarnya berpotensi, sebagai bentuk kepedulian kepada mereka yang sebenarnya berbakat luar biasa, sebagai bentuk kepedulian kepada mereka yang mulai diambang kebimbangan, sebagai bentuk kepedulian kepada mereka mulai kehilangan ghiroh berPMII. Dan, sebagai bentuk kepedulian kepada mereka yang sampai detik ini juga masih memperdulikan sahabat-sahabatnya.

Semua paham, hidup di organisasi dengan segala dinamikanya bukan suatu barang baru lagi untuk pengurus. Jauh sebelum di PMII, pengurus sudah tentu mengeyamnya lebih dulu. Bahkan boleh jadi, rayon kita hari ini sudah terbiasa menerima sisa-sisa militansi dan loyalitas yang sudah dibagi-bagi rata entah ke mana saja itu. Yang jelas, yang namanya sisa itu kurang nikmat. Apalagi, mengemban mandat organisasi sebesar PMII Rayon FTIK, memberikan militansi dan loyalitas yang sudah 'sisa' itu bisa disebut kurang ajar.

Beberapa hari kemarin, salah satu rayon tertua di Jember ini sempat menjadi bahasan menarik di internal Korp Perisai, angkatan 2013 PMII Rayon FTIK. Dalam diskusi kecil-kecilan via daring itu, ada beberapa bahasan dan gagasan dari sahabat-sahabat yang coba penulis rangkum. Sebagai pengendali penuh atas berjalannya kepengurusan, per hari ini, Senin (30 Maret 2020), penulis beserta angkatan masih menyimpan kepedulian itu. Bukan sok peduli, tapi memang itu adanya. Diskusi kita tak pernah absent membahas dua hal, pertama soal angkatan yang belum lulus siapa saja, dan yang kedua soal rayon.

Berdasar pada pantauan dan opini yang berkembang, kasak-kusuk rayon saat ini masih menyimpan delik tak berkesudahan. Seolah, ada tanda tanya besar sejak pengurus dilantik hingga saat ini. Tanda tanya atas pertanyaan yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban lesan, karena mungkin terlalu lama dipendam dengan sikap optimis dan khusnudzon. Saat rayon-rayon lain tengah ngegas dengan budaya literasinya, budaya kajian, budaya jurnalistiknya, dan lain-lain, rayon ini masih sibuk menata dapur yang berantakan. Gagasannya ompong, wacananya kosong, produktifitas minim. Kegiatan baru berjalan normatif dan seremonial, tapi agenda kaderisasi kultural semakin punah.

Ada pola yang berulang yang diperankan pengurus, sejak usai dilantik hingga sampai pada menit injurytime masa pengabdian, yaitu soal peremajaan yang masih kental dirasakan. Sulit untuk tidak menyebut itu sebagai kendala, jika berkaca pada proses mereka sampai sejauh ini yang duduk di kepengurusan rayon. Namun jika melihat perform kepengurusan sejauh ini, senior dan alumni di luar pagar tentu menangkap makna berbeda. Polemik peremajaan bukan lagi menjadi kendala utama, tapi sekaligus alasan utama. Alasan atas beberapa pengurus BPH yang gugur di tengah jalan, alasan atas berbagai kegiatan kultural rayon yang mulai beku, alasan atas tumpulnya produktifitas kepengrusan, dan alasan-alasan lain yang sejatinya memang tidak seluas alas Purwo. 

Bahkan, bisa jadi, kendala utama dan pertama itu bakal kembali dimainkan saat masa pengabdian mereka berakhir, yaitu saat forum pertanggung jawaban di RTAR tahunan yang penulis sempat dapat bocoran pada Juni mendatang. Rasanya, menanti forum tertinggi tingkat rayon ini seperti menunggu bom waktu. Pengurus lebih suka semua  proker rayon berjalan dengan catatan akan memakan jatah lebih lama di kepengurusan atau memilih menjaga pola kaderisasi di bawahnya stabil. Sambil lalu menyiapkan kader-kader yang siap tarung menggantikan pengurus saat ini. Terserah, namun tiap pilihan masing-masing butuh pertimbangan matang dan sarat dengan konsekuensi. Hal itu sudah pasti melekat dalam tiap pengurus yang getol dengan jiwa-jiwa organisatorisnya.

Jangankan gagal, mereka berhasil saja tentu tidak akan lepas dari cercaan dan hinaan, apalagi jika mereka gagal. Kalau cara pandang sederhana seperti itu belum juga dipahami, saran penulis sederhana, Bangunlah!!, kalian baru saja tertidur panjang.

Persis seperti kata aktifis jaman Orla, Pemimpin itu, ketika berhasil tidak dipuji, ketika gagal dicaci maki. Riwayat lain menyebutkan, Berbesar hati mengakui kegagalan itu lebih terhormat dari pada merasa unggul tapi abai dengan tanggungjawab. Maaf, ini bukan tausiyah agama. Tapi setidaknya, setiap rezim mengukir sejarahnya masing-masing, apa yang setiap orang tanam hari ini, akan berdampak kepada orang lain, meskipun sejatinya juga akan kembali kepada diri sendiri. Hidup berorganisasi pun adakalanya demikian, dicaci dimaki ditempah lalu ditempah, dan dibenturkan sana-sini. Bahkan tidak dihargai. Ketahuilah, ketajaman pedang seorang panglima perang itu,  menghabiskan 10 tahun ditempah dengan bara api. Hasilnya, sekali sang panglima angkat pedang, bungkam seluruh nyali penguasa rimba.

Mohon maaf kalau bikin tegang.
Kembali lagi ke peremajaan, saat ini, di tengah pandemik Covid-19, problem peremajaan mungkin sedikit tersisih, tergantikan dengan eksistensi segerombolan virus kiriman dari kota Wuhan itu. Minimal, ada bahan baru yang bisa dijadikan kambing hitam selain berkutat pada peremajaan. Padahal kemarin-kemarinnya, kajian online tetap berjalan,(pikiran yang terlintas di benak pengurus ketika membaca narasi ini sejauh ini).

Memaknai gejala alam seperti covid-19, adakalanya kita harus membuka lagi lembaran sejarah, mungkin rentan waktu 10 hingga 29 tahun ke belakang. Flashback sejenak memang perlu, agar bergerak memiliki rujukan. Tapi jangan lama-lama, nanti sulit move on. Pada kurun waktu itu menjadi kisah menarik sekaligus bersejarah. Sebut saja kisah alumni kita, bagaimana sulitnya menghidupkan rayon di tengah kondisi yanng serba pas-pasan. Rayon masih ngontrak, listrik numpang, yang punya sepeda motor satu angkatan satu orang. Belum lagi hape, mau ngordinir masa, harus registrasi SMS gratis, itupun hanya untuk sesama operator. Dan lain-lain dan lain-lain. Di benak masing-masing kita pasti mbatin, jaman onta sama jaman toyota sudah pasti berbeda.

Yah, anak SD pun itu juga tau. Tapi bagaimana cara suatu organisasi menyikapi masa sulit seperti itu, mereka (anak SD) tidak akan tau. Kalau kita hari ini tidak mengetahui bagaimana bersikap dan mengambil keputusan untuk menghidupkan organisasi, semoga kita bukan bagian dari anak SD yang sedang terdampar di gedung gedung menjulang tinggi yang mereka sebut kampus itu.

Itu artinya, jaman boleh bebeda, tantangan pun juga berbeda. Ketika dulu dihadapkan dengan berbagai hal yang serba minimalis, molitansi dan loyalitas sudah menjadi wajib ain. Saat ini, saat sudah dimanjakan dengan berbagai fasilitas di tengah kemajuan jaman, tantangannya tak hanya menuntut militansi dan loyalitas, tapi kemauan. Tampak sederhana tapi sulit diuraikan secara gamblang. Sederhananya saja, kemauan yang tanpa harus disuruh tapi berjalan, tanpa diprogam tapi diperhatikan, tanpa diperintah tapi dipertimbangkan. Dan tanpa disindir tapi sudah merasa punya tanggungjawab.

Lembaran sejarah itu memang hanya sebuah cerita, tak lebih. Tapi jangan lupakan orang pelaku sejarahnya. Tak banyak dari mereka yang bisa dijangkau, selain sudah mendahuli kita, beberapa suhu rayon ini masih mudah ditemui. Sekalipun mereka jauh akan terasa dekat jika dasarnya yang disebut di atas, Kemauan. Namun sebaliknya, yang dekat pun kadang terasa jauh. Karena memang dasarnya tidak mau. Seharusnya kita bersyukur, karena Tuhan masih memberikan kita kesempatan menyapa para suhu kita, aktor aktor sejarah di masanya. Berguru ke pelaku sejarah seperti para suhu kita itu, tidak berlebihan, walaupun hanya satu jam sudah setara kuliah 12 SKS dengan 12 kali pertemuan.

Berbicara panjang kali lebar plus tinggi seperti ini memang lebih kelihatan mudah, dari pada melakukannya. Namun jika kata-kata sudah tidak bisa lagi mencerahkan jiwa-jiwa yang keblinger, apa boleh dikata izinkan senjata berbicara. Dan hari ini, senjata itu sebuah tulisan. Sengaja memang, karena melalui tulisan pula, gagasan dan ide pokok tidak akan pernah mati. Sekalipun dunia kiamat.

Namun, tidak sama dengan rayon. PMII dan Rayon FTIK memang satu keasatuan, dan semua boleh optimis bisa hidup 20 tahun lagi, 50 tahun lagi, atau bahkan bahkan bisa hidup selamanya. Tapi hemat penulis, sebentar atau lama itu tergantung generasi pemimpin saat ini. Mereka ingin rayon ini hidup selamanya bisa, bahkan mati besok pun juga bisa. Di pintu rayon tinggal ditulis, Dijual atau Dikontrakkan, Hubungi nomor, sekian. Lalu sejarah akan menulis dengan versinya masing-masing. Inilah sebuah dinamika organisasi. Selamat malam, semoga sukses dan berkesan. Wallahulmuwafiq ila Aqwamitthariq.
Jember, 30 Maret 2020 (23:55)

Komentar

Author mengatakan…
http://mqaynan.blogspot.com/2020/04/metra-post-seperti-bengawan-solo.html

POPULER

đź’ˇNARASI KADERISASIđź’ˇ (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember