Catatan Kiri Mapaba LII PMII Rayon FTIK IAIN Jember



SEPINTAS, Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) 2019 kali ini tampak sangat meriah. Sekitar 450 mahasiswa baru berhasil direkrut dan dikukuhkan di Aula Pesantren Al Ghozali Wuluhan pada Senin (14/10) kemarin.

Suasana haru sempat pecah saat panitia melepas kepulangan mereka dari lokasi Mapaba menuju kampus. Menambah kesan kekeluargaan yang mereka bangun selama empat hari tiga malam harus terpisah untuk sementara waktu.

Momen setahun sekali ini semakin terasa berkesan tatkala puluhan alumni FTIK lintas angkatan datang silih berganti. Mereka seolah turun gunung setelah sekian lama mengasingkan diri dari dunia keumatan PMII dan menanggalkan sejenak rutinitasnya untuk sekedar menyapa kabar rumah pergerakan yang sempat membesarkannya.

Rayon tertua ketiga di Jember ini seolah tak bosan ukir sejarah-sejarah baru. Setelah di periode ini terpilih satu-satunya ketua rayon perempuan, kini rayon kembali ukir sejarah sebagai Kepengurusan dengan jumlah peserta Mapaba terbanyak. Untuk ukuran rayon tertua, tentu itu bukan jumlah yang kecil untuk proses kaderisasi.

Memang setiap keindahan yang menyilaukan mata, selalu menyimpan ruang gelap yang membatasi pandangan hati dan pikiran. Mengurus 450 ummat baru PMII ini memaksa setiap stakeholder harus ekstra all out menyukseskan acara. Tak ayal, dengan dalih 'demi kaderisasi', kultur mulai luntur, budaya mulai dianggap sebelah mata, kaderisasi tak ubahnya agenda rutinitas pelengkap raker dan menggugurkan tanggungjawab.

Setiap zaman memang memiliki tantangan tersendiri. Hanya mereka yang berani fight bisa memiliki banyak pilihan. Sisanya, hanya pasukan pengecut yang menjadi ekor yang setiap saat ditarik kesana-kemari oleh rezim. Namun berjiwa fight saja nyatanya belum cukup. Sebab, hidup di organisasi tak sekadar mengurus bagaimana suksesnya tiap agenda, namun bagaimana menghidupkan organisasi itu di saat yang lain berstatus laa yamut wala Yahya.

Entah apa yang merasuki penulis, hingga tangan ini seolah berjalan sendiri menguraikan setiap kegelisahan di pikiran yang telah berbuah delik. Sekalipun dianggap kurang ajar, itupun lebih disukai dari pada dianggap paling benar dan sok kritis.

Rasanya, tulisan ini sudah terlalu banyak basa-basinya. Yang jelas, Mapaba 2019 telah sukses digelar. Namun indikator kesuksesan itu apakah salah jika diartikan sebagai awal dari proses panjang yang tak mengenal ujung ?

Sangat 'Naif' rasanya jika peremajaan di tubuh Rayon FTIK terus-terusan dijadikan kambing hitam atas segala pertanyaan soal Mapaba. Seperti kedangkalan konsep, miss komunikasi internal kepanitiaan hingga minim konsultasi. Apakah mereka adalah akibat dari proses tempaan yang instan, atau karena korban kebijakan yang hanya dikawal separuh hati dan separuh matang.

Meskipun tiada guna lagi menyesali perkara yang tak semestinya disesali, namun bola pergerakan harus tetap bergulir. Sekalipun di tengah situasi dan kondisi yang kurang memihak, namun setidaknya mereka masih punya berbagai pilihan. Mau meratapi atau menghadapi.

Dan Mapaba kepengurusan kali ini bisa dikatakan mereka menjatuhkan pilihan untuk menghadapi sekaligus meratapi. Seolah melupakan satu hal bahwa setiap pilihan itu tidak berangkat dari hal kosong. Butuh komitmen dan pertanggungjawaban. Itu mutlak dipersiapkan jauh-jauh hari. Jika tidak,  bukankah itu sama halnya merencanakan kebodohan yang terstruktur. Terus-terusan diyakini dan tertanam menjadi maindset selama di kepengurusan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, agenda-agenda rayon berikutnya akan kembali mengkambing hitamkan 'Peremajaan.'

Ini bukan soal siapa yang salah, dan bukan pula soal siapa yang harus bertanggung jawab. Karena ini adalah sebatas dagelan yang gagal melucu hingga jadi serius. Maka, sangat terbuka untuk dikomentari nyinyir dan pedas. Karena seperti yang banyak diketahui, hal itu lebih nikmat dari pada harus mengurai persoalan yang hari ini sedang berbaju Kaderisasi.

Sekali lagi, Mapaba memang telah usai, namun kaderisasi sebenarnya baru saja dimulai. Follow up Mapaba menjadi tahapan wajib selanjutnya yang lebih krusial dari pada menghakimi mereka di pos II saat perjalanan suci kemarin. Semua pengurus, senior dan alumni boleh berbangga, namun terlalu lama berbangga lama-lama juga tak baik.

Rasanya, sulit mengakhiri narasi penuh cacat ini. Sambil lalu berjalan, mari kembali menikmati seruputan kopi racikan pengkaderan mereka selama seperiode ke depan. Biarkan mereka berkreasi sesuai jaman dan kemampuannya. Hingga saat ini, beberapa alumni yang getol berbicara kaderisasi tetap berkeyakinan bahwa rayon adalah ruang aktualisasi paling ideal. Setingkat selanjutnya hingga Pengurus Besar, idealitas kian kering. Maka pantang kiranya berproses setengah hati, pantang berproses setengah matang. 

Jadi, berproseslah tiada henti, mengabdilah tanpa pamrih, dan berkaryalah sampai mati. Hidup terlalu sempit untuk sekedar mengukuhkan eksistensi, namun tak kalah penting adalah bagaimana pergerakan mampu mengukir prestasi dan prasasti. Sekalipun kita mati, nama kita akan tetap hidup dan selalu bergema di keabadian. 


Salam Pergerakan !!!
Wasalam.

ket.foto : MetraPos
 (fp/mn)

Komentar

POPULER

đź’ˇNARASI KADERISASIđź’ˇ (sebuah refleksi komparatif desain kaderisasi struktural dan kultural PMII) Oleh : Filsuf.Proletar

Catatan Kaderisasi

Torehan Sejarah Baru PMII Rayon FTIK IAIN Jember